Salahsatu produsen inovasi yang membuat teh analog dari kulit salak ini adalah UD. Halwa Indoraya Jombang yang berdiri sejak 2013. Permasalah yang terus dihadapi UD. Tahapan-tahapan dalam peningkatan kualitas produk dengan pembuatan metode QFD diawali dengan tahap pengumpulan data, penyusunan House of Quality (HoQ) dan analisa HoQ
1PENGARUH PENAMBAHAN PANDAN WANGI DAN KAYU MANIS PADA TEH HERBAL KULIT SALAK BAGI PENDERITA DIABETES Effect of Addition of Fragant Pandannus and Cinn Author: Sonny Tedjo 20 downloads 345 Views 455KB Size
Lantasbagaimana cara pembuatan teh dari kulit salak,? Dalam Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.203-214, 2015, dijelaskan proses pembuatan teh salak. Pengaruh Penambahan Pandan Wangi Dan Kayu Manis Pada The Herbal Kulit Salak Bagi Penderita Diabetes : Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.203-214, Januari 2015.
Malang(Antara Jogja) - Peneliti dari kalangan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang mengungkapkan limbah kulit salak yang sudah diolah menjadi serbuk teh ANTARA News jogja pendidikan
Kulitari buah salak sebaiknya jangan dibuang, santap bersama buahnya agar bisa mendapatkan manfaat ekstra. Kulit ari buah salak yang mengandung vitamin C ini berperan mencegah dan mengobati sariawan. 4. Cara mengolah kulit salak jadi teh. Dalam Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 3 No 1 p.203-214, Januari 2015, Teh Herbal Kulit Salak Bagi
pembuatanteh Aloe Stevia dipersiapkan terlebih dahulu. Bahan yang disiapkan antara lain daun . Daun Aloe VeraAloe Vera dikupas dan diambil kulitnya, kemudian kulit Aloe Vera dibersihkan dari lendir. Kulit Aloe Vera di cuci agar produk yang dihasilkan baik dan tahan lama. Kulit Aloe Vera direduksi dengan ukuran ± 1 cm. Kulit Aloe Vera dikeringkan
PENGARUHSUHU DALAM PEMBUATAN KARBON AKTIF DARI KULIT SALAK (Salacca edulis) DENGAN IMPREGNASI ASAM FOSFAT (H3PO4) Vol. 4 No. 1 (2015): Jurnal Teknik Kimia USU Section Articles e-ISSN: 2337-4888. Publisher: Access Policy: Member of: Indexed By: Visitor Statistics: Visitor Statistics in detailed:
JVu3NFT. The study aimed to determine the level of ethanol that produced by the flesh of salak fruits with the fermentation process. The method used was an experimental method. The technical is fermentation, with tape yeast starter, determination of ethanol and purification. Ethanol level in the flesh of fresh fruits without handling was the highest levels of ethanol in the fruit flesh of 4 days after the plucking was and the fruit flesh of 7 days after the plucking was Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free J. Akademika Kim. 64 237-240, November 2017ISSN 2302-6030 p, 2477-5185 e237PEMBUATAN ETANOL DARI BUAH SALAK Salacca zalacca MELALUI PROSESFERMENTASIThe Production of Ethanol from Salak Fruit Salacca zalacca through Fermentation Process*Ni Ketut Wartini, Paulus H. Abram, dan Nurdin RahmanPendidikan Kimia/FKIP – Universitas Tadulako, Palu – Indonesia 94118Received 18 September 2017, Revised 18 October 2017, Accepted 20 November 2017AbstractThe study aimed to determine the level of ethanol that produced by the flesh of salak fruits with thefermentation process. The method used was an experiment method. The technical is fermentation, with tapeyeast starter, determination of ethanol and purification. Ethanol level in the flesh of fresh fruits withouthandling was the highest levels of ethanol in the fruit flesh of 4 days after the plucking was andthe fruit flesh of 7 days after the plucking was Ethanol, flesh salak fruits, Salacca zalacca, atau etil alcohol lebih dikenal denganalkohol, dengan rumus kimia C2H5OH adalahcairan tak berwarna dengan karakteristik antaralain mudah menguap, mudah terbakar, larut dalamair, tidak karsinogenik, dan jika terjadi pencemarantidak memberikan dampak lingkungan yangsignifikan Jannah,2010. Penggunaan etanolsebagai bahan bakar bernilai oktan tinggi atauaditif peningkat bilangan oktan pada bahan bakarsebenarnya dan hal tersebut dilakukan sejak abad19. Mula-mula etanol digunakan untuk bahanbakar lampu pada masa sebelum perang saudara diAmerika Serikat. Kemudian pada tahun 1860Nikolous Otto menggunakan bahan bakar etanoldalam mengembangkan mesin kendaraan dengansiklus Otto Jannah, 2010. Etanol diproduksidengan cara fermentasi menggunakan bahan bakuhayati yang dihasilkan dari fermentasi gula yangmengandung bahan seperti tetes tebusari tebu atausirup tebu, berbagai jenis tanaman, gula bitdanjagung manis Umamaheswari, dkk., 2010.Salak sebagai tanaman hortikultura, mudahmengalami kerusakan karena faktor mekanis, fisis,fisiologis dan mikrobiologis. Hal ini disebabkankarena salak mempunyai kadar air yang cukuptinggi yaitu sebesar 78 % dan kandungankarbohidrat sebesar 20,9% Direktorat GiziDepartemen Kesehatan Republik Indonesia,1979. Perubahan lain yang cukup merugikanadalah terjadinya perubahan warna daging buahsecara enzimatis karena kandungan tanin reaksibrowning enzimatis. Kandungan tanin inimemberikan rasa sepat asam buah salak serta jikaterkena udara maka akan menghasilkan perubahan*CorrespondenceNi Ketut WartiniProgram Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan IlmuPendidikan, Universitas Tadulakoe-mail niketutwartini12 by Universitas Tadulako 2017warna coklat pada daging buah salak. Salakmerupakan salah satu tanaman buah asli gizi buah ini cukup tinggi, di antaranyakarbohidrat, protein, kalsium, fosforus dan zat besiAnarsis, 1996. Buah salak dapat dimakan sebagaibuah segar. Namun demikian buah salak dipedesaan hanya sebagian kecil yang dapatdikonsumsi, sehingga mengalami tersebut perlu diatasi dengan cara buah salakdiolah menjadi manisan, sehingga tetapmemberikan nilai yang sering digunakan pada pembuatanbioetanol yaitu fermentasi dasarmelibatkan kegiatan enzimatik lactobacilli,Leuconostoc, pediococci, ragi dan jamurKohajdova & Karovicova, 2007. Metabolismemereka menghasilkan produksi rantai pendek asamlemak seperti laktat, asetat, butirat format danasam propionate Kohajdova & Karovicova, 2007.Fermentasi etanol atau alkoholisasi adalah prosesperubahan gula menjadi alkohol dan karbondioksida oleh mikroba, terutama oleh khamirSaccharomyces cerevisiae Yonas, 2013.Jenismikroba yang dapat digunakan dalam pembuatanbioetanol salah satunya adalah Saccharomycescerevisiae yang merupakan organisme uniseluleryang bersifat makhluk mikroskopis dan disebutsebagai jasad sakarolitik, yaitu menggunakan gulasebagai sumber karbon untuk metabolismeAzizah, dkk., 2012.Tulisan ini dimaksudkan untuk menentukankadar etanol yang dihasilkan pada daging buahsalak dengan waktu salak dikupas terlebih dahulu darikulitnya, dibersihkan kulit arinya dan dikeluarkanbijinya. Selanjutnya daging buah salak dicucibersih dengan air, dipotong kecil-kecil ± 1 cm danditimbang sebanyak 300 gram untuk masing-masing sampel daging buah salak menggunakanneraca digital. Tiap ukuran berat daging buah salakdiblendar sampai halus, disaring menggunakan Pembuatan Etanol dari Buah Salak Melalui Proses……....0%2%4%6%8%10%12%0 hari 4 hari 7 hariEtanolLama pendiaman buah salak sebelum difermentasikain bersih hingga diperoleh filtrat dari dagingbuah yang diperoleh, dimasukkan ke dalamgelas dipasteurisasi pada suhu120 oC selama 15 menit Putri & Supartono,2015. Tujuan pasteurisasi pada suhu tersebutadalah mensterilkan bahan agar tidak adamikroorganisme lain yang hidup sebagaipengganggu dan didiamkan sampai dingin. Filtratbuah salak yang sudah dingin dimasukkan kedalam gelas ukur sebanyak 30 mL, dimasukkandalam erlenmeyer yaitu sebanyak 30 yang berisi fitrat buah salak sebanyak30 mL ditambahkan ammonium sulfat sebanyak 2gram dan urea 2 gram sebagai sumber nutrisi dandikocok hingga semuanya larut. Selanjutnya 2gram ragi tape ditambahkan ke dalam masing-masing Erlenmeyer Purba, 2013. Selanjutnyadilakukan inkubasi dengan cara menutup rapaterlenmeyer, dan selang disambungkan darierlenmeyer ke wadah yang berisi air pada suhuberkisar antara 27-30 oC selama 2 tahap fermentasi ini, sampel erlenmeyer Aditambahkan dengan starter 1, sampel erlenmeyerB ditambahkan dengan starter 2, dan untuk sampelerlenmeyer C ditambahkan dengan starter menutup ketiga erlenmeyer hasilcampuran tersebut dengan aluminium foilkemudian dilakukan pendiaman selama 4 hariuntuk masing-masing variasi pemetikan PemisahanSetelah difermentasi selama 4 hari dari masing-masing sampel, selanjutnya disaring menggunakanpompa vakum dan diambil filtratnya. Filtrat yangdiperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalamlabualas bulat dan dipasang pada rangkaian alatevaporator. Pada proses ini dilakukan pemanasanpada suhu 78 oC untuk memisahkan etanol daricampurannya. Larutan hasil evaporasi selanjutnyaditentukan kadarnya dengan menggunakanalkoholmeter Moeksin & Francisca, 2010.Hasil Dan PembahasanAnalisis kadar etanol pada berbagai variasi haripemetikan daging buah salakGambar 1. Kadar etanol berdasarkan variasi haripemetikan daging buah salak dan difermentasimasing-masing selama 4 hariGambar 1 memberikan informasi bahwa setelahdilakukan pengukuran kadar etanol menggunakanalat alkoholmeter dari hasil evaporator, terdapatperbedaan kadar etanol pada daging buah salakyang bagus dan sudah matang yang diambil daripohonnya pada hari pertama dipetik, dan padadaging buah salak setelah pemetikan hari pertamadidiamkan selama 4 hari, dan daging buah salaksetelah pemetikan hari pertama didiamkan selama7 hari daging buah salak busuk. Pada daging buahsalak yang bagus yang diambil dari pohonnya padahari pertama dipetik dan difermentasi 4 harimenghasilkan kadar etanol yang diperoleh yaitudengan 3 kali pengukuran yang dihasilkan padapengukuran pertama 13%, pengukuran kedua11%, dan pengukuran ketiga yaitu 10%. Kadaretanol rata-rata yaitu sebanyak 11,3%. Sedangkandaging buah salak setelah pemetikan hari pertamayang didiamkan selama 4 hari dengan fermentasi 4hari menghasilkan kadar etanol rata-rata sebanyak7,6%. rata-rata dengan 3 kali pengukuranpengukuran pertama 8,7%, pengukuran kedua7,6%, dan pengukuran ketiga yaitu 6,5%. Dagingbuah salak setelah pemetikan hari pertama yangdidiamkan selama 7 hari daging buah salak busukdan difermentasi 4 hari, kadar etanol yangdiperoleh yaitu dengan 3 kali pengukuran yangdihasilkan pada pengukuran pertama 4,6%,pengukuran kedua 3,5%, dan pengukuran ketigayaitu 10%. Kadar etanol rata-rata yaitu sebanyak2,3%. Dengan kadar etanol rata-rata yaitusebanyak 3,4%.Kadar alkohol tertinggi setelahdievaporator dan diukur menggunakan alatalkoholmeter terdapat pada daging buah salak yangbagus dan sudah matang yang diambil daripohonnya pada hari pertama dipetik denganpenggunaan ragi tape menghasilkan kadar etanolsebesar 11,3%. Hal ini dikarenakan daging buahsalak yang bagus dan sudah matang masihmengandung glukosa karbohidrat yang banyakyang dapat difermentasi dengan baik oleh bakteriSaccaromycess cereviceae sehingga menghasilkankonsentrasi alkohol yang lebih tinggi Purnamasari,dkk., 2013. Dapat dilihat dari reaksi dibawahmenunjukan untuk daging buah salak yang masihbagus dan sudah matang yang baru dipetik tampapendiaman, pada saat difermentasi menghasilkanetanol dengan gas + 2CO2Sedangkan pada daging buah salak setelahpemetikan hari pertama di diamkan selama 4 hari,dan daging buah salak setelah pemetikan haripertama didiamkan selama 7 hari daging buahsalak busuk, glukosa dan karbohidrat yangterkandung mengalami kerusakan baik itu karenafaktor mekanis, fisis, biologis maupunmikrobiologis sehingga kadar alkohol yang didapatlebih sedikit dibandingkan dengan daging buahsalak yang bagus Purnamasari, dkk., 2013. Volume, 6, No. 4, 2017, 237-240239Kerusakan buah salak ternyata disebabkan pertamaoleh faktor mekanis seperti benturan diantara buahsalak itu sendiri, buah dengan wadah, gesekan,tekanan dan buah jatuh dari tandannya. Kedua,faktor fisiologis seperti respirasi yang secara alamisenantiasa berlangsung sejak tandan buah tersebutdipangkas dari pohonnya sampai saatpenyimpanan buah salak dilakukan. Ketiga, faktormikrobiologis seperti lingkungan kebun yang tidakbersih menyebabkan banyak mikrobia khususnyajamur berpeluang untuk mengkontaminasi buahsalak terutama bagian pangkal buah setelah buahsalak tersebut terlepas dari bagian ketiga faktor di atas, penyebab kerusakanbuah salak adalah faktor biologis seperti seranganserangga atau hama tikus yang menyukai buahsalak masak. Penundaan pemanenan dalam upayauntuk mendapatkan harga yang lebih tinggi justrumenyebabkan buah salak kelewat masak dansebagian kulitnya pecah baik secara melintang ataumembujur, dengan demikian kualitas buah salakmenjadi turun. Berbagai faktor tersebut di atasterbukti sebagai pemicu timbulnya berjamur,busuk dengan bau menyengat, terjadi perubahanwarna, buah menjadi layu dan kering seperti yangdiungkapkan oleh Purnamasari, dkk., 2013. Adapun penurunan kadar etanol, hal ini disebabkankarena glukosa dan nutrisi dalam media fermentasijumlahnya sudah mulai berkurang sehinggamikroba dalam jumlah yang cukup besar hanyamengkonsumsi sisa nutrisi, kemungkinan lainkarena terjadinya perubahan etanol yangteroksidasi oleh oksigen menjadi asam dilihat dari reaksi dibawah ini,menunjukan bahwa pada daging buah salak 4 harisetelah pemetikan dan daging buah salak 7 harisetelah pemetikan, glukosa pada saat difermentasiterbentuk atau menghasilkan etanol dengan gasCO2, namun megalami reaksi berlanjutmembentuk asam asetat atau asam karboksilatkarena mengalami oksidasi dan reaksi denganalkohol sisa hasil oksidasi membentuk etil asetatatau CH3COOH CH3COOC2H5+ H2OPengaruh lama waktu fermentasi terhadap kadaretanolFermentasi alkohol adalah prosespenguraian glukosa menjadi etanol dan CO2yangdihasilkan oleh aktifitas suatu jenismikroorganisme yang disebut khamir dalamkeadaan anaerob. Faktor yang dapatmempengaruhi jumlah etanol yang dihasilkan darifermentasi adalah mikroorganisme dan media yangdigunakan. Selain itu hal yang perlu diperhatikanselama fermentasi adalah pemilihan khamir,konsentrasi gula, keasaman, ada tidaknya oksigendan suhu Muin, dkk., 2014.Penelitian ini menggunakan ragi Saccharomycescerevisiae karena mikroba Saccharomyces cerevisiaememiliki beberapa kelebihan dibandingkanmikroba lain, Saccharomyces cerevisiae dapatmenghasilkan alkohol hingga 2% dalam 72 jamO’Leary, dkk., 2004. Mikroba Saccharomycescerevisiae menghasilkan enzim invertase dan enzimzimase dengan adanya kedua enzim tersebutmikroba Saccharomyces cerevisiae dapatmengkorversi gula menjadi etanol. Gula darikelompok disakarida akan dihidrolisis enziminvertase menjadi monosakarida selanjutnya enzimzimase akan mengkonversi monosakarida menjadialkohol dan karbondioksida Judoamidjojo, dkk.,1992.Menurut Azizah, dkk., 2012 menyatakanbahwa Saccharomycescerevisiae akan tumbuhoptimal dalam kisaran suhu 30 °C-35 °C danpuncak produksi alkohol dicapai pada suhu 33 ° suhu terlalu rendah, maka fermentasi akanberlangsung secara lambat dan sebaliknya jika suhuterlalu tinggi maka Saccharomycescerevisiae akanmati sehingga proses fermentasi tidak akanberlangsung. Tapi ada batasan untuk proseskehidupan mikroorganisme, suhu yang lebih tinggimungkin tidak mendukung pertumbuhan, sel-selakan mati, enzim dapat mengubah sifat dan lajupembentukan produk mungkin itu semua fermentasi bersifat eksotermik,tingkat panas yang dilepaskan tergantung padakondisi alam disekitarnya. Oleh karena itu kontrolsuhu lengkap pada suhu optimum tentu akanmeningkatkan produksi etanol Umamaheswari,dkk., 2010Waktu fermentasi adalah waktu yangdibutuhkan oleh Saccharomyces cerevisiaemengubahatau memfermentasi glukosa menjadi etanol. Padaproses fermentasi, waktu fermentasimempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan. Lamafermentasi pada proses produksi etanol sangatmempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan. Jikaetanol yang terkandung di dalam substrat tinggimaka hal ini justru akan berpengaruh burukterhadap pertumbuhan Saccharomyces karena itu dibutuhkan lama fermentasi yangtepat untuk proses fermentasi bioetanol agardidapatkan kadar etanol dalam jumlah yang tinggiAzizah, dkk., 2012.Penelitian ini, menggunakan waktu fermentasi4 hari, karena proses fermentasi pada waktu 4 haridari berat yeast 6 gram palinsg optimum karenamenghasilkan kadar etanol tertinggi. Dimanaaktivitas bakteri pada lama fermentasi 4 hari palingoptimum, setelah waktu 4 hari konversi glukosaakan menurun karena penurunan aktivitas bakteriakibat pertumbuhan bakteri yang cepat tidakdiimbangi dengan nutrisi yang cukup dan bakteriakan mati karena kehabisan nutrisi Susanti, dkk.,2011. Pembuatan Etanol dari Buah Salak Melalui Proses……....240KesimpulanPada daging buah salak yang matang dan barudipetik dari pohonnya tanpa pendiamanmenghasilkan kadar etanol yang peling tinggi yaitusebesar 11,3%, sedangkan pada daging buah salak4 hari setelah pemetikan menghasilkan kadaretanol 7,6%, dan pada daging buah salak 7 harisetelah pemetikan menghasilkan kadar etanol3,4%.Ucapan TerimakasihUcapan terimakasih penulis sampaikan kepadaHusnia, Nurbaya, dan Tasrik yang telahmemberikan bimbingan dan masukan dalammenyelesaikan penelitian PustakaAnarsis, W. 1996. Agribisnis komoditas Penerbit Bumi N., Al-Baarri, N. & Mulyani, S. 2012.Pengaruh lama fermentasi terhadap kadar alkohol,ph dan produksi gas pada proses fermentasibioetanol dari whey dengan substitusi kulit Aplikasi Teknologi Pagan, 12, Gizi Departemen Kesehatan RepublikIndonesia. 1979. Daftar komposisi bahanmakanan. JakartaBharata Karya A. M. 2010. Proses fermentasi hidrolisatjerami padi untuk menghasilkan bioetanol. JurnalTeknik Kimia, 17 1, M., Darwis, A. A. & Sa’id, E. G.1992. Teknologi fermentasi. Teknik Industri,62, Z. & Karovicova, J. 2007.Fermentation of cereals for specific of Food and Nutrition Research, 462, R. & Francisca, S. 2010. Pembuatanetanol dari bengkuang dengan variasi berat ragiwaktu dan jenis ragi. Jurnal Teknik Kimia, 17 2, R., Lestari, D. & Sari, T. W. 2014.Pengaruh konsentrasi asam sulfat dan waktufermentasi terhadap kadar bioetanol yangdihasilkan dari biji alpukat. Jurnal Teknik Kimia,204, V. S., Green, R., Sullivan, B. C. &Holsinger, V. H. 2004. Alcohol production byselected yeast strains in lactase hydrolyzed acidwhey. Jurnal Biotechnology and Bioengineering,197, E. S. 2013. Pengaruh lama fermentasiterhadap kadar etanol dari biji alpukat perseaamericana mill. Skripsi, Yogyakarta UniversitasNegeri F., Ruli, S. F., Sari, E. & Rahma, 2013. Pemanfaatan limbah buah salak sebagaisumber bahan bakar alternatif Research, 24, E. S. & Supartono. 2015. Pemanfaatanlimbah tandan kelapa untuk pembuatan bioetanolmelalui proses hidrolisis dan fermentasi. IndonesianJournal of Chemical Science, 43, A. D., Prakoso, P. T. & Prabawa, H.2011. Pembuatan bioetanol dari kulit nanasmelalui hidrolisis dengan asam. Ekuilibrium, 102, M., Jayakumari, M., Maheswari,K., Subashree, M., Mala, P., Sevanthi, T. &Manikandan, T. 2010. Bioethanol productionfrom cellulosic materials. International Journal ofCurrent Research, 1, M. I. 2013. Pembuatan bioetanol berbasissampah organik batang jagung Suatu penelitian dilaboratorium kimia UNG. Skripsi, GorontaloUniversitas Gorontalo. ... Proses perubahan glukosa menjadi etanol oleh jamur Saccharomyces cerevisiae adalah akibat aktivitas dari enzim invertase [20] dan zimase [21] yang dihasilkan jamur tersebut. ...Junaini JunainiElvinawati ElvinawatiSumpono SumponoThis study aims to determine the effect of Aspergillus niger levels on bioethanol production in banana cobs using Saccharfication Simultation Fermentation SSF method. This research uses banana kepok Musa paradisiaca L. obtained from Enggano Island of Bengkulu Province. Enggano Island is one of the outermost islands of Bengkulu Province which has a coordinate point of 5023'25,000 '' LS - 102014'16,000 '' BT. Samples of banana done preparation before the hydrolysis and fermentation process by smoothing the banana cobs using a blender until it becomes mush. Samples in the form of slurry were then added by Aspergillus niger and Sccharomyces cerevisiae. Hydrolysis performed for 72 hours which then continued with the fermentation process for 5 days. In the study there were 5 treatments addition of Aspergillus niger 107 CFU/mL, addition of 10 mL Saccharomyces cerevisiae, addition of 10 mL Saccharomyces cerevisiae + Aspergillus niger 106 CFU/mL, 10 mL Saccharomyces cerevisiae + Aspergillus niger 107CFU/mL and 10 mL Saccharomyces cerevisiae + Aspergillus niger 108CFU/mL. The fermentation results were distilled and then measured the ethanol content by the specific gravity method. Ethanol content obtained from each treatment were and respectively. From one-way analysis test can be obtained the value of Fcount and Ftabel respectively are and so the value of Ftable Abstract Pineapple skin is an agricultural waste that has a carbohydrate content of about 1054% and the skin of pineapple juice glucose levels by 17% so it can be utilized to ethanol. Hydrolysis reaction is so slow that the reaction requires a catalyst. The catalyst used in this study were hydrochloric acid HCl. This study aims to Learn how to use the skin of pineapple waste as alternative raw material manufacture bioethanol. The variables studied were the concentration of hydrochloric acid, the hydrolysis and fermentation time. Sorghum starch hydrolysis process using a three neck flask equipment, mercury stirrer, heating mantle, cooling behind and a thermometer to measure temperature. Sampling for glucose analysis performed when the temperature reaches 100oC every 45 minutes to obtain optimum glucose levels. Glucose samples were analyzed by using the Lane-Eynon. Data analysis showed the longer the higher the hydrolysis of the resulting glucose levels, but there are times when the glucose level will drop over time for glucose resulting damage due to continuous heating. In the fermentation process is carried out with fermentation time of 24 hours, 48 hours, 72 hours, 96 hours, 120 hours fiber. The most optimum bacterial activity is a long fermentation for 96 hours. Distillation process carried out on the final results of ethanol fermentation and obtained the highest levels of Keywords Pineapple skin, hydrolysis, fermentation, distillation, ethanol. Abstract Pineapple skin is an agricultural waste that has a carbohydrate content of about 1054% and the skin of pineapple juice glucose levels by 17% so it can be utilized to ethanol. Hydrolysis reaction is so slow that the reaction requires a catalyst. The catalyst used in this study were hydrochloric acid HCl. This study aims to Learn how to use the skin of pineapple waste as alternative raw material manufacture bioethanol. The variables studied were the concentration of hydrochloric acid, the hydrolysis and fermentation time. Sorghum starch hydrolysis process using a three neck flask equipment, mercury stirrer, heating mantle, cooling behind and a thermometer to measure temperature. Sampling for glucose analysis performed when the temperature reaches 100 ºC every 45 minutes to obtain optimum glucose levels. Glucose samples were analyzed by using the Lane-Eynon. Data analysis showed the longer the higher the hydrolysis of the resulting glucose levels, but there are times when the glucose level will drop over time for glucose resulting damage due to continuous heating. In the fermentation process is carried out with fermentation time of 24 hours, 48jam, 72 hours, 96 hours, 120 hours fiber. The most optimum bacterial activity is a long fermentation for 96 hours. Distillation process carried out on the final results of ethanol fermentation and obtained the highest levels of keyword Pineapple skin, hydrolysis, fermentation, distillation, ethanol.0,05 dan varian data homogen. Uji ANOVA one way menunjukkan adanya perbedaan tingkat penerimaan responden yang bermakna p0,05. Analisis rerata tingkat penerimaan responden terhadap sampel boba kopi biji salak disajikan dalam Tabel Tabel 2 Distribusi tingkat kesukaan boba kopi biji salak Rerata skor daya terima formula Keterangan Menunjukkan perbedaan yang signifikan jika huruf di atas angka berbeda, pada baris yang sama. Berdasar uji LSD pada taraf kepercayaan 95% X1 = penambahan ekstrak kopi biji salak sebesar 20% X2 = penambahan ekstrak kopi biji salak sebesar 40% X3 = penambahan ekstrak kopi biji salak sebesar 60% X4 = penambahan ekstrak kopi biji salak sebesar 80% X5 = penambahan ekstrak kopi biji salak sebesar 100% JTech 91, 7 - 13 Raharja Chabibah Sudarmayasa Romadhoni doi p-issn/e-issn2252-4002/2546-558X PEMBUATAN BOBA KOPI BIJI SALAK SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL SUMBER ANTIOKSIDAN 10 Gambar 3. Spider web diagram hasil uji hedonik boba kopi biji salak Warna Gambar 3 menunjukkan semakin banyak persentase ekstrak kopi biji salak semakin tinggi tingkat kesukaan produk pada atribut warna. Rerata daya terima terhadap warna boba kopi biji salak berkisar antara 2,66 X1 sampai 3,60 X4. Skor tertinggi pada boba dengan penambahan ekstrak kopi biji salak 80% X4, yang berada pada skala penerimaan cukup suka sampai suka. Pada tabel 2 hasil uji LSD penerimaan atribut warna, menunjukkan tidak adanya adanya perbedaan yang bermakna antara formula X4 dengan formula X2, X3, dan X5 p>0,05, namun menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan formula X1 p0,05, namun menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan formula X1 dan X2 p0,05, namun menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan formula X1 dan X2 p0,05, namun menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dengan formula X1, X2, dan X3 p<0,05. Mutu sensori secara keseluruhan merupakan penilaian responden terhadap produk yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan responden pada keseluruhan atribut yang ada pada produk. Berdasarkan penilaian pada atribut keseluruhan, boba dengan penambahan ekstrak kopi biji salak 100% X5 merupakan formula yang memiliki skor kesukaan tertinggi. Penerimaan kesukaan produk X5 berada pada skala penerimaan suka sampai sangat suka. Hasil Uji Aktivitas Antioksidan Boba Kopi Biji Salak Tabel 3 Pengujian aktivitas antioksidan boba kopi biji salak Rerata nilai IC50 μg/mL Keterangan Menunjukkan perbedaan yang signifikan jika huruf diatas angka berbeda. Berdasar uji LSD pada taraf kepercayaan 95% Aktivitas antioksidan boba kopi biji salak ditentukan menggunakan metode DPPH dengan antioksidan pembandingnya adalah asam askorbat. Pada metode ini digunakan parameter nilai IC50 yang menunjukkan konsentrasi antioksidan yang mampu meredam oksidasi radikal bebas sebesar 50%. Semakin besar nilai IC50, maka semakin rendah aktivitas antioksidan untuk meredam oksidasi radikal bebas. Hasil uji pada Tabel 3 menunjukkan bahwa asam askorbat memiliki aktivitas tertinggi dengan nilai IC50 sebesar 14,7 μg/mL dan terdapat perbedaan nyata dengan nilai IC50 kelima formula boba kopi biji salak. Formula X5 dengan penambahan ekstrak kopi biji salak 100%, memiliki aktivitas tertinggi dengan nilai IC50 sebesar 391,0 μg/mL. Penambahan persentase ekstrak kopi biji salak, berbanding lurus dengan bertambahnya aktivitas antioksidan pada boba. Sejalan dengan hasil penelitian ini, penelitian yang dilakukan Karta et al. 2015 kopi biji salak produksi kelompok tani Desa Sibetan, Bali memiliki aktivitas antioksidan yang diukur menggunakan metode DPPH memiliki nilai IC50 sebesar 9,37 mg/mL. Aktivitas antioksidan pada kopi biji salak diduga berasal dari kandungan senyawa fenolik; flavonoid, dan tannin Ariviani et al., 2013; Susila, 2016. Senyawa fenolik memiliki bioktivitas sebagai antioksidan, karena adanya gugus hidroksil pada cincin aromatik mempengaruhi kestabilan ikatan atom oksigen dan atom hidrogen. Ketidakstabilan ikatan tersebut membuat senyawa JTech 91, 7 - 13 Raharja Chabibah Sudarmayasa Romadhoni doi p-issn/e-issn2252-4002/2546-558X PEMBUATAN BOBA KOPI BIJI SALAK SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL SUMBER ANTIOKSIDAN 12 fenolik bertindak sebagai donor atom hidrogen kepada radikal bebas Raharja et al., 2017. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kopi biji salak berpengaruh nyata terhadap parameter warna, aroma, rasa, dan keseluruhan, namun tidak berpengaruh pada tekstur. Penambahan ekstrak kopi biji salak juga berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan boba kopi biji salak. Formula X5 dengan penambahan ekstrak kopi biji salak 100%, memiliki aktivitas tertinggi dengan nilai IC50 sebesar 391,0 μg/mL. Produk terbaik berdasarkan uji hedonik untuk keseluruhan atribut sensori adalah produk boba dengan penambahan ekstrak kopi biji salak 100% X5, dengan skor 4,13 skala penerimaan suka - sangat suka. Produk X5 memiliki aktivitas antioksidan dengan Nilai IC50 391,0 μg/mL. DAFTAR PUSTAKA Amanda, R., & Baroroh, L. 2017. The Study Of The Utilization Of Limbah Salak Based On The Analysis Of Added Value And Feasibility Of Agribusiness. Agrium, 211, 1–7. Andrianto, D., Katayama, D., & Suzuki, D. 2015. Screening Of Antioxidant And Antihyperlipidemic Potencies Of Indonesian Underutilized Fruits. J Forest Biomass Utilization Soc, 1, 19–25. Ariviani, S., Her, N., & Parnanto, R. 2013. Kapasitas Antioksidan Buah Salak Salacca Edulis Reinw Kultivar Pondoh, Nglumut Dan Bali Serta Korelasinya Dengan Kadar Fenolik Total Dan Vitamin C. AGRITECH, 333, 324–333. Asiah, N., Septiyana, F., Saptono, U., Cempaka, L., & Sari, D. A. 2017. Identifikasi Cita Rasa Sajian Tubruk Kopi Robusta Cibulao. Barometer, 2July, 52–56. Ayuni, N. W. D., Sari, I. G. A. M. K. K., & Adiaksa, I. M. A. 2017. Market Testing Terhadap Produk Kopi Biji Salak. PROSIDING SENTRINOV TAHUN 2017, 3, 383–396. Boesveldt, S., & de Graaf, K. 2017. The Differential Role Of Smell And Taste For Eating Behavior. Perception, 463–4, 307–319. Chan, S., & Garcia, E. 2011. Comparative Physicochemical Analyses Of Regular And Civet Coffee. The Manila Journal of Science, 71, 19–23. Chang, D. 2012. Is this the Inventor of Bubble Tea? CNN International. Esposito, F., Fasano, E., Vivo, A. De, Velotto, S., Sarghini, F., & Cirillo, T. 2020. Processing Effects On Acrylamide Content In Roasted Coffee Production. Food Chemistry Journal, 319August 2019, 1–7. Hu, G., Peng, X., Gao, Y., Huang, Y., Li, X., & Su, H. 2020. Effect Of Roasting Degree Of Coffee Beans On Sensory Evaluation Research From The Perspective Of Major Chemical Ingredients. Food Chemistry, 331January, 1–10. Jeltema, M., Beckley, J., & Vahalik, J. 2016. Food Texture Assessment And Preference Based On Mouth Behavior. Food Quality and Preference, 52, 160–171. Jeszka-skowron, M., Frankowski, R., & Zgoła-Grześkowiak, A. 2020. Comparison Of Methylxantines, Trigonelline, Nicotinic Acid And Nicotinamide Contents In Brews Of Green And Processed Arabica And Robusta Coffee Beans – Influence Of Steaming, Decaffeination And Roasting Processes On Coffee Beans. Food Science and Technology, 125109344, 1–9. Karta, I. W., Susila, A. N. K., Mastra, I. N., & Dikta, P. G. A. 2015. Kandungan Gizi Pada Kopi Biji Salak Salacca Zalacca Produksi Kelompok Tani Abian Salak Desa Sibetan Yang Berpotensi Sebagai Produk Pangan Lokal Berantioksidan Dan Berdaya Saing. Jurnal Virgin, 12, 123–133. Lokaria, E., & Susanti, I. 2018. Uji Organoleptik Kopi Biji Salak Dengan Varian Waktu Penyangraian. BIOEDUSAINS Jurnal Pendidikan Biologi Dan Sains, 12, 34–42. Mazumdar, P., Pratama, H., Lau, S., How, C., & Ann, J. 2019. Trends In Food Science & Technology Biology , Phytochemical Profile And Prospects For Snake Fruit An Antioxidant- Rich Fruit Of South East Asia. Trends in food science & technology, 91, 147–158. Ompi, G. F., Pakasi, C. B. D., & Benu, N. M. 2012. Strategi Pemasaran Kopi Biji Salak “KOBISA” Di Desa Pangu Kecamatan Ra- Tahan Timur Kabupaten Minahasa Tenggara. COCOS Jurnal Ilmiah Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi, 71, 1–6. Prayogo, K., Wulandari, W., & Suhartatik, N. 2016. Pembuatan Kopi Biji Salak Salacca Zalacca Dengan Variasi Lama Penyangraian Dan Penambahan Bubuk Jahe. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, 12, 69–78. Raharja, K. T., Wirjatmadi, B., & Adriani, M. 2017. Pemberian Buah Kawista Menghambat Peningkatan Kadar Malondialdehid Serum JTech 91, 7 - 13 Raharja Chabibah Sudarmayasa Romadhoni doi p-issn/e-issn2252-4002/2546-558X PEMBUATAN BOBA KOPI BIJI SALAK SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL SUMBER ANTIOKSIDAN 13 Tikus Wistar Yang Dipapar Asap Rokok. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 293, 190–195. Spence, C. 2015. On The Psychological Impact Of Food Colour. Flavour, 41, 1–16. Susila, L. A. N. K. E. 2016. Salacca Coffee Made Of Snake Fruit Seed Waste. International Conference of Young Scientists. Syaeftiana, N. A. 2017. Formulasi Bubble Pearls Dengan Penambahan Tepung Torbangun Coleus amboinicus Lour. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Werdyani, S., Jumaryatno, P., & Khasanah, N. 2017. Antioxidant Activity Of Ethanolic Extract And Fraction Of Salak Fruit Seeds Salacca zalacca gaertn. voss. using DPPH 2,2-diphenyl-1- picrylhydrazyl method. Eksakta Jurnal Ilmu-Ilmu MIPA, 172, 137–146. Wijk, R. A. De, Smeets, P. A. M., Polet, I. A., Holthuysen, N. T. E., Zoon, J., & Vingerhoeds, M. H. 2018. Aroma Effects On Food Choice Task Behavior And Brain Responses To Bakery Food Product Cues. Food Quality and Preference, 68February, 304–314. Yelp. 2019. Best Boba Milk Tea In Los Angeles. milk tea&find_loc=Los Angeles%2C CA&start=750. ... Pembuatan bubble pearl dari tapioka dengan substitusi pati sagu didasarkan pada prosedur Raharja et al., 2021 Tapioka, pati sagu, gula dan air ditimbang masing-masing sesuai dengan formulasi pada Tabel 1. Air direbus sampai mendidih dan ditambahkan gula hingga larut. Larutan gula panas dituangkan ke dalam campuran tapioka dan pati sagu dan diaduk sehingga kalis. ...Y. Erning IndrastutiAndreas Yolan KristandiFenny ImeldaPati sagu hasil industri tradisional di Kalimantan Barat memiliki aroma asam dan berwarna kecoklatan sehingga hanya digunakan secara terbatas pada pembuatan kue-kue tradisional. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi karakteristik fisikokimia dan organoleptik bubble pearl tapioka yang disubstitusi pati sagu hasil dari industri tadisional asal Kalimantan Barat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendiversifikasi penggunaan pati sagu lokal. Bubble pearl dibuat dengan berbagai proporsi tapioka dan pati sagu 1000; 9010; 8020; 7030% dan dianalisis kadar air, kekerasan, kehilangan padatan akibat pemasakan, waktu pemasakan, kapasitas rehidrasi, dan analisis hedonik warna, rasa, aroma dan kekenyalan. Hasil penelitian menunjukkan subtitusi pati sagu pada bubble pearl memengaruhi kadar air, kekerasan, kehilangan padatan akibat pemasakan, waktu masak, kapasitas rehidrasi, warna dan aroma bubble pearl. Subtitusi pati sagu tidak memengaruhi rasa dan kekenyalan bubble pearl. Semakin besar subtitusi pati sagu maka kadar air, kekerasan, kapastitas rehidrasi semakin meningkat. Semakin besar subtitusi pati sagu maka kehilangan padatan akibat pemasakan, waktu masak, warna dan aroma bubble pearl semakin menurun. Pati sagu hasil industri tradisional lokal Kalimantan Barat dapat digunakan untuk mensubtitusi bubble pearl tapioka, meskipun panelis lebih menyukai bubble pearl dari 100% tapioka dari segi warna dan aroma. Pati sagu hasil industri lokal mempunyai potensi dimanfaatkan sebagai bubble pearl dengan perbaikan pada warna dan aroma pati seeds have been developed as a beverage, but there was still a little amount of research that focused on salak seeds. This research was conducted to find out the chemical compounds and the antioxidant activity of ethanolic extract and fraction of salak fruits seeds Salacca zalacca Gaertn. Voss. which have been grown extensively in Sleman Yogyakarta. Extraction was conducted using maceration, followed by fractionation using vacuum liquid chromatography. The identification of the chemical compounds contained in the ethanolic extract and fraction was performed by thin layer chromatography method, while the antioxidant activity was performed by DPPH method. Comparison of antioxidant activity was seen using IC50 values. The results showed that ethanol extract and fraction contained phenol, flavonoid, and tannin. The largest antioxidant activity was found in F7 with an IC50 value of μg / robusta Cibulao merupakan salah satu produk unggulan yang banyak dikonsumsi masyarakat dan memiliki kekhasan dalam sajian tubruk. Dalam teknik penyeduhan, suhu dan tingkat kehalusan bubuk menjadi faktor penentu yang mempengaruhi kualitas cita rasa seduhan kopi yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu penyeduhan maka hal tersebut akan meningkatkan laju ekstraksi komponen komponen kimia yang larut dalam air. Kehalusan partikel kopi akan meningkatkan luas permukaan dan laju ekstraksi kopi pada saat penyeduhan. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi atribut cita rasa kopi pada berbagai suhu penyeduhan 85, 92, 99oC pada berbagai tingkat kehalusan bubuk halus, medium dan kasar. Penilaian tiap sampel dilakukan secara skoring dengan 2 dua kali pengulangan. Dari keseluruhan penilaian, atribut cita rasa seduhan kopi dilakukan oleh panelis terlatih. Hasil menunjukkan bahwa atribut cita rasa sajian tubruk kopi robusta Cibulao dengan penilaian tertinggi berada pada suhu penyeduhan 92oC dengan tingkat kehalusan medium. Sanne BoesveldtKees de GraafFood choice and food intake are guided by both sensory and metabolic processes. The senses of taste and smell play a key role in the sensory effects on choice and intake. This article provides a comprehensive overview of, and will argue for, the differential role of smell and taste for eating behavior by focusing on appetite, choice, intake, and satiation. The sense of smell mainly plays a priming role in eating behavior. It has been demonstrated that orthonasal odor exposure induces appetite specifically for the cued food. However, the influence of odors on food choice and intake is less clear, and may also depend on awareness or intensity of the odors, or personality traits of the participants. Taste on the other hand, has a clear role as a macronutrient sensing system, during consumption. Together with texture, taste is responsible for eating rate, and thus in determining the oral exposure duration of food in the mouth, thereby contributing to satiation. Results from these experimental studies should be taken to real-life situations, to assess longer-term effects on energy intake. With this knowledge, it will be possible to steer people’s eating behavior, as well as food product development, toward a less obesogenic society. Stephanie ChanRegular and Civet coffee beans of the Coffea robusta variety were analysed for α-tocopherol and caffeine contents by HPLC, surface microstructure by SEM, minerals by EDX. Probably due to absorption, the α-tocopherol content of the civet coffee beans was lower compared to the regular robusta coffee beans. Heating damages the cell membrane and vacuoles, causing an increased release of α-tocopherol and caffeine. Interestingly, calculations showed that roasting produced a more pronounced increase in α-tocopherol content in regular robusta than in the civet counterpart. Meanwhile, the caffeine content increase of the Civet coffee beans may be attributed to the possible formation of amino acids which are precursors of caffeine biosynthesis. SEM revealed that civet coffee beans acquired surface micro-pitting due to the action of digestive enzymes. The roasted regular robusta and civet coffee beans showed a smoother surface due to the fusion of cellulose in the cell wall. The mineral content of the civet coffee beans were lower than that of regular robusta which may have been an effect of absorption by the the most consumed beverage in the world, the material basis of the sensory quality for roasted coffee beans has always received much attention. The objective of the present study was to clarify the physical morphology changes, main chemical ingredients and cupping scores of arabica coffee beans of different roasting degrees, by scanning electron microscopy SEM, nuclear magnetic resonance NMR and sensory analysis, respectively. Statistical analysis of the data by multivariate analysis demonstrated that trigonelline, sugars, malate, quinic acids, γ-butyro-lactone and acetate have the potential to be new roasting markers. Additionally, in all the sensory indicators, body and acidity were found to be susceptible to roasting degree. Basing on cluster heatmap and sensory molecular network, the complex relationships between sensory indicators and ingredients were discussed. The results of partial least squares regression PLSR showed that the content of the main coffee ingredients can be used to predict the body differences among several popular brewed beverages in relation to content of caffeine, theobromine, theophylline, trigonelline, nicotinic acid and amide were studied. Caffeine, the main active component of the green and roasted Arabica and Robusta coffees, was also found in Yerba mate tea and other beverages such as teas. On the other hand, it has been found that roasted grain beverages that are used as a coffee substitute contain 5000-10000 times less caffeine. In addition the effect of coffee treatment such as roasting, steaming and decaffeination processes of coffee beans was analyzed. It was shown that the steaming and/or light roasting processes have influenced the methylxantines and trigonelline content. Decaffeination process has decreased the level of theobromine and theophylline and increased the content of nicotinic acid and there was no change in nicotinamide in Vietnam Robusta is a toxic compound that develops during the roasting process of coffee beans. According to literature, the levels of acrylamide in coffee vary with the percentage of Robusta type in the mix and with the time-temperature parameters during the roasting process. Therefore, this study aimed to find the best roasting conditions in order to mitigate acrylamide formation. Two types of roasted coffee Arabica and Robusta were analyzed through GC-MS and two clean-up methods were compared. The best roasting conditions were optimized on an industrial scale and the median levels of acrylamide decreased from the range 170-484 µg kg⁻¹ to 159-351 µg kg⁻¹, after the optimization of roasting parameters. Therefore, the choice of the best conditions, according to the percentage of Robusta type in the finished product, could be an efficient mitigation strategy for acrylamide formation in coffee, maintaining the manufacturer's requirements of the finished product. Keyords Acrylamide PubChem CID 6579Background Snake fruit Salacca zalacca is a unique tropical palm that bears fruit, botanically known as drupes, with a leathery and scaly skin that resembles snake scales. A number of studies have demonstrated that the nutritional profile of this fruit is comparable to those of better known fruits like mango, kiwi and apple, owing to its richness in antioxidants, phenolics, vitamins and minerals. Despite immense food and medicinal benefits, snake fruit is still underutilized and unknown to the global market. Scope and approach To gain empirical knowledge on snake fruit farming from propagation to harvesting, we interviewed four farmers during our educational visit to two snake fruit orchards located at the Desa Pertapahan Riau and Kampar Balige North Sumatra, Indonesia. In this review, we link together the knowledge shared by farmers and current information extracted from literature, to generate a baseline understanding of the agronomy, nutrient, phytochemical and volatile composition, therapeutic potency and future potential for the snake fruit industry. Key findings and conclusions We identify the key challenges for improved utilization of snake fruit as a lack of baseline data on superior germplasm, post-harvest losses and the lack of a sustainable module for knowledge transfer. Evaluation of correlation among genotypic and phenotypic attributes and application of molecular markers will be helpful to select superior germplasm and breeding materials. Scientific research on post-harvest technology, considering the physiology and biochemistry of the fruit, will be beneficial to minimize post-harvest losses. Furthermore, a transparent knowledge sharing module involving the farmers, workers, researchers and exporters will be useful to establish the supply chains for snake fruit and their value-added products in the global market. Eka LokariaIvoni SusantiThis Research was aimed determine the effects of roasting coffe bean on organoleptic coffee bark banjarnegara Salacca zalacca var zalacca. The effect of treatment is determined using the method of completely randomized design CRD, which consists of six treatments and three replications. The treatments were P0 is the control, P1 with the roasting time of 40 minutes, P2 with a roasting time of 50 minutes, P3 with a roasting time of 60 minutes, P4 with a roasting time of 70 minutes and P5 with a roasting time of 80 minutes. Based on the Anova test track with significant level of 5 percent showed significant results that Fhitung more than F table followed by LSD test were obtained significantly different results in the treatment of P3 60 minutes with a number BNT Coffee bean roasting time best bark in treatment P3 with a roasting time of 60 minutes that have criteria dark brown color, very fragrant aroma, smooth texture, taste bitter, and acceptance of like . The results showed that the higher the quality of coffee beans bark the higher the acceptance of society to bark bean coffee. Keywords roasting, the beans bark banjarnegara salacca zalacca var zalaccaBread, and especially whole grain bread is an important source of dietary fibers. It was tested with behavioral and fMRI measures whether bread becomes more attractive when it is presented with bread aroma. Twenty-eight healthy normal-weight women were exposed to images of bakery products brown bread, white bread and cookies without aroma or with a congruent bread aroma or non-congruent “warm wood” aroma. In general, product effects were larger than aroma effects. Images of brown bread were preferred over images of white bread as shown by direct comparisons, choice reaction times, as well as liking and wanting scores. Aroma had no effect on liking and wanting, but did affect food choice task behavior, where images of brown bread were preferred more often in the presence of warm wood aroma and images of cookies were preferred more often in the presence of bread aroma. The fMRI data suggest that bread aroma may increase the salience of bakery products compared to no aroma and a non-food aroma. Specifically, bread aroma induced greater activation for cookies in areas related to reward anticipation. The correlations between behavioral measures and brain responses suggest lower attention for and a habitual response to brown bread and higher attention and a more goal-directed response to white bread. In conclusion, aroma can affect choice task behavior for brown and white bread albeit in an incongruent manner. The more habitual response to brown compared with white bread suggested by the neural data underscores that nudging towards brown bread consumption with bread aroma will probably not be effective.
0% found this document useful 0 votes1K views10 pagesDescriptionLaporan Pembuatan Teh Kulit SalakCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes1K views10 pagesPembuatan Teh Kulit SalakJump to Page You are on page 1of 10 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 9 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
jurnal pembuatan teh dari kulit salak